Oleh: Nuryaman Berry Hariyanto*
SUNGGUH, sebenarnya saya malas mengomentari pernyataan Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas dan Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. Sebab, pernyataan kedua anak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini tidak berbobot, secara politik, apalagi ideologis.
Lontaran kalimat yang mereka ucapkan tidak mencerminkan kelasnya sebagai seorang wakil rakyat yang duduk di kursi DPR RI ataupun tidak memperlihatkan kapasitas diri sebagai seorang ketua umum partai politik yang pada eranya pernah berkuasa secara auto pilot.
Padahal, kalau keduanya mau bersungguh-sungguh atau serius dalam belajar politik, waktu lima tahun semestinya menjadi waktu yang cukup untuk mengejar ketertinggalan "paradigma dan stratak politik" di diri mereka masing-masing.
Ya, tapi harap maklum, mereka ada di kancah politik pun sesungguhnya memang bukan hasil dari buah kemampuan skill sendiri, tapi hanya meneruskan trah politik ayahanda. Agar segala "jejak permainan" di masa lalu masih tetap aman karena ada di dalam gerbong politik kepartaian dan masih tetap bisa terkoneksi dengan jaringan lingkar dalam mereka di masa-masa kejayaan dulu.
Menariknya, dalam beberapa hari belakangan, pernyataan kedua "politisi up grade-an" ini mendapat sentimen negatif dari berbagai kalangan, khususnya oleh para pejuang politik dan demokrasi yang jauh lebih berkeringat-keringat sejak lama dibanding Ibas dan AHY yang masih anak kemarin sore di panggung politik.
Pernyataan Ibas dan AHY yang mencoba mengkerdilkan peran dan kerja-kerja Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menjadi pemantik kaum pergerakan untuk memberikan antitesis, bahwa era Pemerintahan SBY masih jauh lebih "jeblok" dibanding era saat ini.
Antitesis yang disampaikan tidak sekadar narasi tipu-tipu, tapi juga dengan melampirkan data dan fakta. Sehingga, tidak ada unsur kebencian di dalamnya. Apa yang disampaikan agar seluruh rakyat Indonesia tahu yang sebenarnya terjadi.
Apa kabar Bani auto pilot era SBY? Inilah sebagian besar "dosa kekuasaan" di masa pemerintahan SBY berkuasa yang sampai hari ini skandal-skandalnya masih menghantui rakyat Indonesia. Dan, saya hanya mengajak mengingat kembali memori kolektif kita bersama-sama.
Di era SBY, kelompok kanan kaum fundamentalis seperti HTI dan FPI dibiarkan tumbuh subur dan berkembang. Bisa jadi, mereka memang sengaja dipelihara oleh kekuasaan untuk kepentingan politik identitas yang dampak kerusakannya masih terasa hingga hari ini. Jika memang mereka dipelihara, bisa dibayangkan berapa cost politic yang harus dikeluarkan oleh Sang Pemelihara.
Kasus Century yang menggegerkan dunia perbankan dan sosial politik Indonesia. Di masa itu, sangat menyita perhatian publik dan menguras energi begitu besar. Ditaksir, kerugian negara mencapai Rp 7,4 Triliun.
Proyek mangkrak kompleks olahraga Hambalang. Pembangunan proyek dimulai pada 2010, dan diberhentikan satu tahun setelahnya pasca Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus adanya praktik korupsi dalam proses pembangunannya. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 2,5 triliun.
Skandal dan sarang mafia migas PT Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) dilindungi SBY, disikat oleh Presiden Jokowi. Diduga, omzetnya mencapai belasan Triliun Rupiah Setiap tahun.
Ada 95 Proyek Mangkrak, termasuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) senilai total Rp 143 Triliun. Di dalamnya ada proyek monorel mangkrak. Dari PLN sendiri kerugian negara ditaksir mencapai Rp 3,8 Triliun.
Dugaan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) proyek baju militer dengan Sritex. Monopoli produksi baju TNI oleh Sritex Tbk dengan nilai mencapai lebih dari Rp 1 Triliun.
Pembiaran Kebakaran Hutan Sumatra pada 2004-2014. Lagi-lagi sistem auto pilot yang dipakai. Biarlah hujan yang meredakan kebakaran. Sementara perusahaan-perusahaan pembakar dibiarkan beroperasi. Ada dugaan suap skala besar.
Lamban dalam penanganan bencana Tsunami Aceh 2004. Selanjutnya dengan gaya auto-pilot membiarkan bantuan masuk tanpa koordinasi, hingga akhirnya bantuan dikorup sana sini. Estimasi kebocoran diduga mencapai Rp 880 Miliar.
SBY tidak pernah terbuka berapa pajak yang dia bayar. Juga, berapa penambahan kekayaan dari 2004-2014. Diperkirakan, kekayaan SBY saat ini mencapai lebih dari Rp 8 Triliun dari sekitar belasan Miliar Rupiah di tahun 2004.
Dugaan mark up dalam pembelian Pesawat Kepresidenan, pembelian di tahun 2010. Harga wajar 70 juta USD, harga beli pemerintah saat itu 85,4 juta USD. Indikasi mark up mencapai Rp 200 Miliar.
Dugaan korupsi proyek percetakan uang negara dengan RBA Securency dan Note Printing Australia. Kerugian negara dinilai mencapai puluhan miliar rupiah.
Adanya dugaan penyelewengan wewenang dengan cara menghadiahi diri sendiri dengan rumah senilai Rp 300 Miliar dari kas negara.
Mengurus negara dengan sistem Auto Pilot. Pembiaran di berbagai sektor pedagangan, di antaranya yang paling mencolok adalah skandal Import Sapi. Terkait ini, SBY secara langsung maupun tidak langsung merugikan negara dalam pembiaran hingga terjadinya korupsi oleh antek-anteknya dari PKS.
Itu baru sebagian besar kasus yang muncul ke permukaan berdasarkan kolektif data dari berbagai sumber. Belum lagi kasus-kasus lain yang kemungkinan juga ada keterlibatan Auto Pilot, seperti dalam kasus Antasari Azhar dan lainnya.
Dengan kekayaan yang masih begitu besar, Bani Auto Pilot sepertinya masih bisa memainkan pion-pion, antek-antek dan jaringan-jaringannya untuk terus mengganggu dan membuat kegaduhan di republik ini. Sehingga kita sebagai sebuah bangsa tidak bisa bersatu dalam satu helaan nafas yang sama.
Maka, jika dibandingkan dengan Presiden Jokowi, raport SBY jauh lebih "jeblok" karena banyak merahnya, minus prestasi. Dan ini sebagai komparasi dengan sebagian kecil bukti kalau Presiden Jokowi lebih patut dihormati karena memiliki nyali besar dan strong leadership, bukan kaleng-kaleng.
Presiden Jokowi berani mengambil alih Taman Mini Indonesia Indah (TMII) setelah dikuasai keluarga Cendana selama hampir 44 tahun.
Bukan sekadar memuji, tetapi berdasarkan fakta bahwa Presiden Jokowi adalah sosok pemimpin yang berani.
Berani membubarkan mafia migas Petral.
Berani melawan Freeport dan berhasil mendapatkan saham 51%.
Berani ke zona merah, Nduga,
Papua.
Berani masuk ke negara perang Afghanistan tanpa rompi anti peluru.
Berani mengambil kebijakan melarang ekspor bijih Nikel yang akhirnya digugat UE ke WTO.
Berani memerintahkan untuk menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan.
Berani mengambil kebijakan BBM satu harga di Papua.
Berani menghadapi demo-demo berjubah agama seperti 212.
Berani membubarkan HTI.
Berani membubarkan FPI.
Akhir kata, jangan pernah ragu dan takut untuk tetap menjaga Indonesia dari berbagai rongrongan dan perusakan oleh anasir-anasir jahat yang selama ini menggunakan topeng politik, jubah agama dan jaringan transnasional.
Hanya Satu Kata, Lawan!
*Aktivis'98, Waketum BARIKADE'98
Recent Comments
No comments
Leave a Comment